Kualitas awak media dalam penguasaan materi berita menjadi sorotan. Banyak wartawan, asisten redaktur, redaktur, redaktur pelaksana hingga pemimpin redaksi yang kurang, bahkan tidak memahami permasalahan serta perkembangan lapangan seputar banyak bidang. Utamanya bidang politik. Menghindari produk berita yang justru malah membingungkan masyarakat, maka calon awak media perlu menjalani sertifikasi. Perusahaan media (pers) juga perlu diakreditasi.Dua hal penting ini yang diusulkan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat I Gusti Putu Artha.
”Sertifikasi wartawan mutlak perlu dilakukan.Sebelum menjadi wartawan harus ada sertifikasi. Tidak bisa tukang ojek tiba-tiba jadi wartawan.Sertifikasi perlu untuk menghargai (profesi) jurnalis. Sertifikasi bisa dilakukan Dewan Pers, lembaga pendidikan tinggi, lembaga independen yang ditunjuk dan lainnya,”terang Putu Artha disela-sela dialog ”Peran Media Massa Menyukseskan Pemilu/Pilkada (Evaluasi Pengalaman Pemilu 2009)” oleh Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) RI di Surabaya kemarin.
Menurutnya, perusahaan media (pers) juga wajib diakreditasi. Menyangkut budget perusahaan, target break event point(BEP),tingkat kesejahteraan serta hak-hak wartawan (karyawan) dan lainnya. Akreditasi perlu dilakukan untuk tetap menjaga netralitas media dalam menyikapi masalah politik. ”Selama ini banyak media (baru) muncul mendekati pilkada.Enam bulan kemudian setelah pilkada, tidak ada lagi,” tandas mantan redaktur pelaksana sebuah harian di Bali ini.
Media perlu uang untuk tetap hidup.Kendati demikian ia kurang setuju jika ada awak media yang menjadi tukang mengambil disket berisi materi berita yang dibuat humas tim sukses kandidat.Meski demikian, masih kata Putu,ia tak menampik bahwa praktik itu ada. Ini merupakan efek kapitalisme media. Efeknya,roh media sebagai anjing penjaga demokrasi hilang.
”Yang menjadi catatan kenapa sertifikasi perlu? Banyak awak media tak pahami konfigurasi politik, peran masing-masing lembaga politik,” urai pria yang sebelumnya menjadi awak media selama 24 tahun ini. Sebuah harian di Jakarta saat Pemilu 2009 memberitakan kegiatan sosialisasi Pemilu oleh KPU di rumah ibadah. Media tersebut terang- terangan membuat judul, ”KPU Tabrak Aturan”.
Menurutnya ini karena ketidakpahaman awak media. Mulai wartawan,asisten redaktur,hingga pemimpin redaksi. ”Sosialisasi dimana saja kanboleh.Yang tidak boleh itu kampanye,” tandasnya. Karena itu ia berharap awak media yang didalam tetap harus belajar secara mandiri. Selain itu turun ke lapangan. ”Di Jakarta redpel dan redaktur politik harus turun lapangan untuk memahami perkembangan,” katanya.
Pembicara lain, Uni Z Lubis, praktisi sebuah televisi swasta nasional menyebutkan, media dalam kaitan pemilu/pilkada mampu mempengaruhi masyarakat. Baik terkait penambahan informasi,perilaku memilih maupun sistem politik.” Tingginya penetrasi media penyiaran, dan aspek visual pada media televisi membuat media ini berkontribusi penting dalam mempengaruhi media dalam pemilu,” sebutnya.
Penetrasi TV 2004 adalah 91,1%.Hasil sosialisasi pemilu lalu menunjukkan 80% masyarakat mengaku mendapatkan informasi dari media cetak dan elektronik. Pemilu legislatif dan pemilu presiden 2009 menunjukan betapa TV berperan penting dalam memperkenalkan kandidat utama dan platform program secara ringkas.
Namun juga banyak terjebak pada pemberitaan negatif.Antarkandidat senang mengeksplorasi efek huru-hara dari sebuah peristiwa atau pernyataan. Dari pelaksanaan pemilu/pilkada, masih kata Uni, media juga diuntungkan. Terjadi peningkatan iklan luar biasa.Parpol juga diuntungkan. Parpol dengan belanja iklan yang besar, ternyata juga memperoleh suara besar.
Data Nielsen media research menunjukkan potensi belanja iklan politik yang meningkat pada kuartal II/2009, sebesar 19-22%. Capaian ini sama dengan peningkatan pada kuartal 1/2009,utamanya dibanding periode 2008. Iklan politik pada kuartal 1/2009 tercatat Rp10,3 triliun. Pemasangan di media TV sebanyak 55%,koran 43% dan majalah 2%.
Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Tarman Azzam mengatakan, liputan media cetak pada pemilu/pilkada sebelumnya relatif normal, akurat dan seimbang. Umumnya tidak terjadi pelanggaran berat atas ketentuan hukum dan etika profesi.
”Secara nasional tidak ada kasus pelanggaran hukum dan etika yang mencolok yang menimpa media.Pada umumnya media cetak memperoleh keuntungan dari iklan-iklan kampanye pemilu 2009. Tetapi tidak semua meraup perolehan pendapatan yang besar,”sebutnya.
Sumber : Harian Seputar Indonesia, Selasa 01 Desember 2009
Reporter : Soeprayitno
Komentar
Posting Komentar