Baru kali ini
kampanye Pilpres berjalan ketat dan sedikit beringas. Serangan udara melalui
media massa konvensional seperti pada Pilpres 2004 dan 2009 tak banyak
dilakukan. Tren yang terjadi berubah, kampanye hitam banyak ditebar.
Munculnya
kampanye hitam ini seolah melengkapi kebijakan PLN akhir-akhir ini yang kerap
memadamkan listrik secara bergilir. Kalau listrik
sudah padam, suasana akan gelap gulita. Aktivitas kerja dipastikan terhenti.
Pemadaman listrik yang disebut blackout
kini sudah menjadi momok bagi kaum urban yang sangat bergantung pada listrik terlebih
bagi kalangan industri.
Saat blackout datang, rasa kesal pun
berhamburan. Ini berbeda dengan respon publik terhadap black campaign. Black
yang kedua ini belakangan menjadi konsumsi publik. Materinya menguar di ruang
publik melalui Black Berry Message (BBM), media sosial, hingga perbincangan
sehari-hari.
Black campaign merupakan
lanjutan dari negative campaign yang
sebelumnya juga sudah menjejali pikiran banyak orang. Beberapa hari menjelang
Pilpres 2014, negative campaign
dengan cepat bertransformasi menjadi black
campaign.
Di level negative campaign, pasangan Capres dan
Cawapres yang berlaga sekadar diserang dengan cap negatif. Tujuannya jelas,
menegasikan (baca: menggeser) simpati publik terhadap sosok yang diberi cap
negatif.
Negative campaign ini lebih
kurang merupakan cara membunuh lawan politik secara perlahan. Caranya dibuat
sehalus mungkin dan bertahap. Bila perlu dilakukan secara periodik dan
terjadwal. Cap negatif terhadap lawan politik ditebar dengan teknik shifting issue atau pengalihan isu.
Ada banyak
materi yang bisa dimainkan dalam pengalihan isu seperti ini. Cara yang paling
mudah ialah mencari sisi negatif atau kekurangan lawan politik. Gampangnya
membongkar aib sosok yang diserang. Untuk urusan seperti ini tim sukses dan elite opinion biasanya punya peran
signifikan. Satu saja isu negatif ditebar, media massa akan menyemutinya.
Secara teknis, spoke person yang
ditunjuk untuk berbicara punya andil besar. Spoke
person dari tim sukses saja belumlah cukup. Akan lebih meyakinkan jika ada elite opinion yang berkenan untuk ikut
serta menyebarkan negative campaign.
Harus diakui, negative campaign bukanlah cara yang
elegan dalam berpolitik. Hanya saja, politik praktis mendorong semua pihak yang
terlibat di dalamnya untuk berpikir sepraktis mungkin. Alhasil, cara yang
paling praktis untuk memenangkan persaingan cenderung dipilih. Tujuannya sudah
jelas, winning the battle. Peduli
setan dengan sikap elegan dan fatzoen
politik. Sing penting menang dan
kampenye negatif ra popo.
Kampanye negatif
termudah bisa dimulai dengan melempar sindiran. Menyindir masuk dalam
kategori indirect negative campaign atau kampanye negatif secara tidak
langsung. Ini tak ubahnya menyerang lawan politik dengan cara mencubit.
Biasanya sindiran tak menunjuk secara langsung nama si lawan politik.
Secara semiotik,
sindiran disampaikan dengan menunjukkan indeks atau tanda-tanda yang mengarah
kepada lawan politik yang disindir. Bila ada asap, berarti ada api yang
menyala. Asap merupakan indeks untuk memberitahu kita di mana letak apinya.
Kalau hendak menyindir nama tertentu, tak perlu sebut nama. Cukup
disebutkan ciri-cirinya atau menirukan pernyataan kontroversialnya. Lalu,
biarkan publik pembaca, pendengar, dan pemirsa yang menerka.
Bukan hal sulit
mencari bahan sindiran guna menebar kampanye negatif. Rekam jejak lawan politik
baik secara personal maupun karir politik bisa dibongkar dan diolah. Terlebih
dalam ajang Pilpres 2014 kali ini. Hanya ada dua pasang figur yang bertarung.
Tidak ada sosok
yang sempurna dan bebas cela dari empat orang tokoh yang berlaga. Semua figur
punya titik lemah. Bahan dasar berupa kelemahan personal itu tinggal diolah,
dimatangkan, dan direkayasa. Tentu, ini bukan pekerjaan yang sulit. Bukankah
membongkar aib dan membicarakannya sudah menjadi bagian dari keseharian
sebagian besar penduduk negeri ini?
Pertanyaan di
atas merupakan sindiran. Mohon maaf sekiranya sidang pembaca ada yang merasa
tersindir. Membongkar kelemahan lawan politik dan aib ini kerap disamakan
dengan membangun daya kritis. Publik diminta kritis, media juga diminta
bersikap sama dalam menilai calon pemimpin, lalu yang muncul adalah serangkaian
penilaian kompleks terhadap seorang figur.
Pengetahuan para
pemilih dikacaukan sembari diarahkan perlahan.
Dalam ranah akademik, hal seperti ini disebut dengan pengayaan yang berarti proses
memperkaya pengetahuan. Dengan pengetahuan yang semakin kaya, para siswa
berpeluang memahami suatu objek secara lebih utuh dan berpeluang menemukan
pemikiran alternatif. Nah, dalam konteks Pilpres 2014 ini para pemilih
kebanjiran pengetahuan yang diselipi aneka rupa aroma negatif.
Lantas, apa yang
bisa diharapkan dari para pemilih? Adakah peluang bagi pemilih menemukan
pilihan alternatif? Jawabannya: tidak ada. Hanya ada dua pasang calon dalam
Pilpres 2014. Pilihan alternatifnya ya tidak memilih atau menjadi Golongan Ora
Milih (GOM). Kalau menjadi GOM salah nggak? Sederhana saja jawabannya kalau
disalahkan yo ra popo.
Pertanyaan
berikutnya, para pemilih yang masuk ke dalam GOM ini kudu piye? Yang jelas kudu
(harus) bingung. Kalau Anda juga ikut bingung, berarti Anda berpikir. Bagaimana
tidak bingung, setelah dibanjiri negative
campaign belakangan publik juga terpapar black campaign. Isu yang disebar sudah bertendensi untuk membunuh
karakter.
Kesalahan yang
pernah dilakukan salah satu figur dibongkar ulang. Perkara yang belum menemui
titik temu penyelesaian diungkapkan kembali ke
ruang publik. Sosok yang relatif steril dengan mudah
dikaitkan dengan permasalahan yang belum jelas status hukumnya dan bahkan nggak perlu.
Alam pikiran pemilih dibuat makin
runyam, gelap, dan kian tidak jelas. Tujuan black
campaign tercapai, yakni menggelapkan pemahaman pemilih terhadap keempat
sosok yang maju dalam Pilpres 2014. Siapa yang berupaya menggelapkan? Gelap
juga, sebab tidak ada yang bersedia mengaku.
Ujung dari negative campaign dan black campaign ini adalah death campaign alias kampanye kematian. Publik
yang muak dengan black campaign
berpotensi mematikan langkahnya untuk datang ke bilik suara pada 9 Juli 2014
nanti. Denyut politik padam, alias blackout.
Kita butuh creative campaign agar death campaign tak terjadi da menjadi
sampah di pikiran pemilih.
Bekas wartawan detikcom dan KBR 68H Jakarta. Kini menjadi
konsultan komunikasi dan meminati diskusi politik.
Komentar
Posting Komentar