Mari meredakan saraf yang tegang jelang Pilpres 2014. Luangkan sejenak waktu untuk diri. Ada baiknya mengandaikan Prabowo Subianto menjadi sosok seperti Dodit Mulyanto. Faktanya, dua figur ini memang jauh berbeda.
Siapa yang tak kenal Prabowo Subianto? Sebagai
Capres nomor 1, hampir semua orang mengenalnya. Pendukungnya banyak, begitu
juga dengan pengkritiknya.
Ini seperti pengandaian dalam pepatah, makin tinggi
pohon makin kencang pula angin berhembus.
Siapa juga yang tak mengenal Dodit Mulyanto? Bagi yang belum kenal Dodit, silahkan berburu
videonya saat menjadi kontestan Stand Up Comedy Kompas TV Season 4.
Pria Jawa
asal Blitar Jawa Timur ini sudah punya ribuan fans di akun Twitter-nya. Aksi stand up comedy-nya selalu ditunggu karena
bakal mengundang tawa.
Berbeda dengan komika lainnya yang cenderung
ekspresif saat open mic. Dodit menawarkan
gaya baru.
Nada bicaranya datar, logat Jawanya kental dan medhok, tapi tetap mampu menyentil sensor tawa pemirsanya. Dodit
tidak membutuhkan gaya bicara yang tegas dan lugas bak orator.
Sapaan khas dari Dodit kepada pemirsa selalu berubah
dan konteksual. Pernah dia mengucap,”Selamat malam kerabat.”
Lain waktu
berganti dengan,”Selamat malam penduduk.” Bahkan sapaan seperti,” Selamat malam
fashionista,” dan “Selamat malam omnivora,” dengan santai terdengar dari komika
yang sehari-hari berprofesi guru ini. Sapaan Dodit saja kadang sudah cukup
mengundang tawa.
Seandainya Prabowo Subianto mau belajar dari gayanya
Dodit Mulyanto bisa saja angin dukungan bakal berhembus kepadanya. Tak ada
salahnya jika Prabowo selaku Capres menyapa khalayak dengan,”Selamat malam
pendukung, yakin mau dukung saya? Kalau nggak yakin nanti saya kasih paku. Satu
orang satu paku, agar selalu ingat siapa yang ngasih paku. Itu namanya paku
coblosan. Jangan coblos saya, tapi coblos gambar saya.”
Tentu, sapaan ini harus diucapkan dengan nada suara
yang datar dan seolah tak acuh. Tidak perlu ketegasan seperti yang selama ini
banyak ditampilkan. Ini seperti “menyipilkan” gaya militer yang kerap
ditampilkan Prabowo Subianto.
Berikutnya, Prabowo bisa meniru materinya Dodit dengan
sedikit modifikasi. Misalnya saja dengan menyatakan,”Saya ini asli keturunan
Jawa, pernah dididik ala Eropa, tapi karir militer saya tetap di tanah Jawa.”
Usai berhenti sejenak, Prabowo bisa menambahkan sedikit paparan,”Itulah kisah
hidup saya. Nggak ada lucunya sih.”
Kampanye positif tentang kekayaan dan aset yang
dimiliki Prabowo Subianto – kaya itu positif guys dan nggak selalu negatif – bisa juga dijadikan materi candaan
saat menghadapi audiens. Bisa saja Prabowo bilang begini,”Orang bilang Pak
Prabowo itu kaya, ya saya itu kaya gini. Masak saya disuruh kaya yang lain, ya
enggaklah. Prabowo Subianto itu Cuma satu, dan kebetulan dapat undian nomor
urut satu. Cieeeee nomor satu.”
Setelah itu, Prabowo bisa menyelipkan secuil materi
kampanye dengan menyatakan,”Tapi saya ingin agar bangsa ini makin kaya rasa
maaf, rasa hormat menghormati, serta tetap sadar akan kekayaan negerinya.”
Mengapa Dodit layak ditiru? Seperti pernah ditulis salah
seorang Kompasianer bernama Gibb, Dodit seolah menyodorkan ironi saat tampil di
panggung. Nah, saat ini kita butuh ironi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
ironi berarti kejadian atau situasi yang bertentangan dengan yang diharapkan
atau yang seharusnya terjadi.
Seharusnya seorang Capres itu yang tegas dan
berwibawa. Itu benar, tapi perlu diingat ketegasan dan kewibawaan diperlukan
saat seseorang sudah menjadi presiden definitif dan punya kewenangan mengendalikan
pemerintahan melalui para menteri dan birokratnya.
Kalau masih Capres dan butuh
dukungan dari pemilih, maka seorang Capres harus merakyat. Ada bagusnya bisa
bercanda, berbagi senyum, syukur-syukur berani tampil di ajang stand up comedy. Cieeee, ada yang berani
tampil nggak ya?
Untuk itulah dibutuhkan sesuatu yang sifatnya ironi
sepanjang masa kampanye ini. Wong rakyat Indonesia sudah lelah kok dengan hiruk
pikuk politik. Rakyat yang kelak akan menggunakan hak pilihnya itu butuh
hiburan.
Butuh sesuatu yang berbeda agar tersentuh sensor simpatinya. Jangan
sampai, para pemilih menjadi galau saat hendak memasuki bilik suara nanti.
Ingat ya guys,
jumlah pemilih pemula dalam Pemilu 2014 – Pileg dan Pilpres – diperkirakan mencapai
30 persen. Mereka ini berusia 17-30 tahun. Sebuah rentang usia yang penuh
dinamika dan butuh tawa.
Melucu dibutuhkan agar kita mampu menyeimbangkan
hidup. Menertawakan hal-hal lucu dalam hidup terkadang bisa menambah semangat
dan menemukan solusi alternatif dari himpitan masalah hidup.
Apa iya, para pemilih pemula yang sebagian galau dan
doyan melucu kelak dibiarkan berujar,”Apa? Kamu yang pengin jadi presiden trus
aku yang harus milih?”
Selamat sore, saya warga negara biasa dan suka
bercanda saja guys.
Tulisan ini juga ditayangkan di: http://hiburan.kompasiana.com/humor/2014/06/02/andaikan-prabowo-subianto-menirukan-dodit-mulyanto-659257.html
Salam kenal
BalasHapussalam kenal juga. terima kasih sudah berkunjung
Hapus