Peran penting public relation atau humas bagi sebuah organisasi atau lembaga sudah banyak diakui. Namun, upaya mengukur keberhasilan kinerja PR sejauh ini belum dilakukan maksimal. Akibatnya, kontribusi PR untuk menunjang aktivitas lembaga tidak terukur.
Inilah salah satu sisi kelemahan pengelola PR yang harus segera diperbaiki. Sudah saatnya, pengelola PR di suatu lembaga mampu melakukan riset kehumasan agar kinerja dan dampak yang dihasilkannya bisa diukur. Ukuran inilah yang nantinya akan menjadi landasan bagi pimpinan atau pengambil keputusan di sebuah lembaga untuk merealisasikan program PR yang diusulkan.
Harus diakui, riset kehumasan dalam dunia empiris sangatlah tidak populer. Hal ini terlihat dari gejala yang ditemui di banyak organisasi yang nyaris tidak mengandalkan riset kehumasan dalam program kerja humas tahunan maupun jangka panjangnya. Padahal, sebagai salah satu fungsi manajemen, humas bekerja dengan perencanaan yang matang dan terukur, pengorganisasian yang simultan dan terkoordinir, pelaksanaan yang sesuai perencanaan dan pengawasan yang ketat, dan kembali sesuai parameter yang ditetapkan dalam perencanaan. Artinya, pengawasan dilakukan salah satunya dengan melakukan riset dan perencanaan disusun pun berdasarkan hasil riset yang reliable atau bisa diandalkan dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan obyektif.
Namun kenyataannya, fenomena dalam dunia empiris, baik di dunia kerja maupun di dunia akademis menunjukkan bahwa riset kehumasan sangat tidak populer bahkan dihindari, ditakuti oleh para praktisi humas itu sendiri. Akibatnya, peran humas pun bergulir tidak lebih dari seremonial belaka dan tidak pernah meningkat dan menyentuh kepada hal-hal yang lebih substantif dan strategis.
Tidak sedikit praktik public relation di tanah air yang hanya berpijak pada akal sehat (common sense) dalam arti tidak memperhitungkan sama sekali ukuran-ukuran rasional yang bisa dipahami bersama. Implikasinya, sekalipun dianggap penting atau strategis, dukungan nyata terhadap PR dalam bentuk alokasi anggaran dan sarana penunjang dirasa masih kurang atau bahkan tidak sesuai dengan kebutuhan. Guna mengurangi masalah seperti itu, sudah saatnya praktisi PR memahami arti penting communication measurement dalam setiap aktivitas kehumasan. Ada 5 (lima) tujuan pengukuran sebagaimana dijelaskan oleh praktisi komunikasi dari Selandia Baru Simon Taylor, kelima tujuan itu adalah:
1. Menciptakan nilai (value)
2. Memperbaiki apa yang sudah dilakukan sebelumnya
3. Memberikan penghargaan dan memacu keberhasilan
4. Menemukan, mengenali, dan meluruskan kekeliruan
5. Mendemonstrasikan nilai
Di bidang public relation, ada sejumlah model riset yang bisa diaplikasikan untuk mengevaluasi kinerja PR. Mengacu pada deskripsi yang pernah dipaparkan oleh Macnamara dalam bukunya PR Matrics (2002), ada 5 (lima) model yang bisa dipilih yaitu:
1. Model PII atau The PII Model yang dikembangkan oleh Cutlip et al;
The PII Model merupakan riset yang menggali pelaksanaan program PR dari tahap preparation (persiapan), implementation (pelaksanaan), dan impact (dampak). Lewat riset ini, pertanyaan-pertanyaan riset muncul secara spesifik sesuai dengan tahapan yang ditanyakan. Jawaban yang dihasilkan dari riset ini akan meningkatkan pengertian dan memperkaya informasi untuk menilai efektivitas.
2. Model Makro Evaluasi PR atau The Macro Model of PR Evaluation yang kemudian berganti nama menjadi Model Piramdia Penelitian PR atau The Pyramid Model of PR Research
Model ini merupakan pengembangan dari PII Model dengan membagi tahapan pengukuran dari sisi inputs, ouputs, dan outcomes serta merekomendasikan evaluasi atas masing-masing tahapan tersebut.
3. The PR Effectiveness Yardstick Model yang dikembangkan oleh Walter Lindenmann
Model ini menawarkan metodologi riset yang lebih canggih dan mendalam dan bukan sekadar riset yang dilakukan secara kronologis sebagaimana dipraktikkan PII Model. Lindenmann membagi metode risetnya ke dalam 3 tahap yakni output, intermediate, dan advanced. Masing-masing tahapan diarahkan untuk mengukur subyek yang telah ditentukan.
5. Model Evaluasi Berkesinambungan atau The Continuing Model of Evaluation yang dikembangkan oleh Tom Watson
Model ini menekankan bahwa riset dan evaluasi PR berjalan secara berkesinambungan dan menyoroti arti penting umpan balik yang dihasilkan dari program PR.
6. Model Evaluasi Terpadu atau The Unified Evaluation Model yang disusun oleh Paul Noble dan Tom Watson
Model ini membagi tahapan riset menjadi 4 yakni: input, output, impact, dan effect.
Ditulis Oleh: Wildan Hakim
Sub Proffesional Mass Communication for PR, KMP PNPM Mandiri Perkotaan
Harus diakui, riset kehumasan dalam dunia empiris sangatlah tidak populer. Hal ini terlihat dari gejala yang ditemui di banyak organisasi yang nyaris tidak mengandalkan riset kehumasan dalam program kerja humas tahunan maupun jangka panjangnya. Padahal, sebagai salah satu fungsi manajemen, humas bekerja dengan perencanaan yang matang dan terukur, pengorganisasian yang simultan dan terkoordinir, pelaksanaan yang sesuai perencanaan dan pengawasan yang ketat, dan kembali sesuai parameter yang ditetapkan dalam perencanaan. Artinya, pengawasan dilakukan salah satunya dengan melakukan riset dan perencanaan disusun pun berdasarkan hasil riset yang reliable atau bisa diandalkan dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan obyektif.
Namun kenyataannya, fenomena dalam dunia empiris, baik di dunia kerja maupun di dunia akademis menunjukkan bahwa riset kehumasan sangat tidak populer bahkan dihindari, ditakuti oleh para praktisi humas itu sendiri. Akibatnya, peran humas pun bergulir tidak lebih dari seremonial belaka dan tidak pernah meningkat dan menyentuh kepada hal-hal yang lebih substantif dan strategis.
Tidak sedikit praktik public relation di tanah air yang hanya berpijak pada akal sehat (common sense) dalam arti tidak memperhitungkan sama sekali ukuran-ukuran rasional yang bisa dipahami bersama. Implikasinya, sekalipun dianggap penting atau strategis, dukungan nyata terhadap PR dalam bentuk alokasi anggaran dan sarana penunjang dirasa masih kurang atau bahkan tidak sesuai dengan kebutuhan. Guna mengurangi masalah seperti itu, sudah saatnya praktisi PR memahami arti penting communication measurement dalam setiap aktivitas kehumasan. Ada 5 (lima) tujuan pengukuran sebagaimana dijelaskan oleh praktisi komunikasi dari Selandia Baru Simon Taylor, kelima tujuan itu adalah:
1. Menciptakan nilai (value)
2. Memperbaiki apa yang sudah dilakukan sebelumnya
3. Memberikan penghargaan dan memacu keberhasilan
4. Menemukan, mengenali, dan meluruskan kekeliruan
5. Mendemonstrasikan nilai
Di bidang public relation, ada sejumlah model riset yang bisa diaplikasikan untuk mengevaluasi kinerja PR. Mengacu pada deskripsi yang pernah dipaparkan oleh Macnamara dalam bukunya PR Matrics (2002), ada 5 (lima) model yang bisa dipilih yaitu:
1. Model PII atau The PII Model yang dikembangkan oleh Cutlip et al;
The PII Model merupakan riset yang menggali pelaksanaan program PR dari tahap preparation (persiapan), implementation (pelaksanaan), dan impact (dampak). Lewat riset ini, pertanyaan-pertanyaan riset muncul secara spesifik sesuai dengan tahapan yang ditanyakan. Jawaban yang dihasilkan dari riset ini akan meningkatkan pengertian dan memperkaya informasi untuk menilai efektivitas.
2. Model Makro Evaluasi PR atau The Macro Model of PR Evaluation yang kemudian berganti nama menjadi Model Piramdia Penelitian PR atau The Pyramid Model of PR Research
Model ini merupakan pengembangan dari PII Model dengan membagi tahapan pengukuran dari sisi inputs, ouputs, dan outcomes serta merekomendasikan evaluasi atas masing-masing tahapan tersebut.
3. The PR Effectiveness Yardstick Model yang dikembangkan oleh Walter Lindenmann
Model ini menawarkan metodologi riset yang lebih canggih dan mendalam dan bukan sekadar riset yang dilakukan secara kronologis sebagaimana dipraktikkan PII Model. Lindenmann membagi metode risetnya ke dalam 3 tahap yakni output, intermediate, dan advanced. Masing-masing tahapan diarahkan untuk mengukur subyek yang telah ditentukan.
5. Model Evaluasi Berkesinambungan atau The Continuing Model of Evaluation yang dikembangkan oleh Tom Watson
Model ini menekankan bahwa riset dan evaluasi PR berjalan secara berkesinambungan dan menyoroti arti penting umpan balik yang dihasilkan dari program PR.
6. Model Evaluasi Terpadu atau The Unified Evaluation Model yang disusun oleh Paul Noble dan Tom Watson
Model ini membagi tahapan riset menjadi 4 yakni: input, output, impact, dan effect.
Ditulis Oleh: Wildan Hakim
Sub Proffesional Mass Communication for PR, KMP PNPM Mandiri Perkotaan
Komentar
Posting Komentar