Januari 2012.
“Mobilnya kalau dibandingkan yang lama, lebih enak, bagus dan nyaman ini”, ujar
Joko Widodo yang saat itu masih menjabat Wali Kota Surakarta, Jawa Tengah.
Itulah pernyataan singkat Jokowi sebagaimana dikutip
dari viva.co.id (Senin, 2/01/2012). Keputusan Jokowi menggunakan mobil rakitan siswa Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) sebagai mobil dinasnya itu sontak mengundang atensi
media massa. Optimisme terhadap kemampuan anak bangsa untuk membuat mobil
sendiri tumbuh kembali.
Mobil berjenis Special Utility Vehicle (SUV) rakitan siswa
SMK 2 Surakarta dan SMK Warga Surakarta itu akhirnya menggantikan mobil dinas
Jokowi yang lama yakni Toyota Camry. Mobil dinas baru Jokowi ini merupakan
proyek bersama antara dua SMK tersebut dengan bengkel Kiat Motor Klaten Jawa
Tengah.
 |
Walikota Surakarta Joko Widodo saat menjajal mobil Esemka. Sumber foto: Solopos |
Maret 2016. Mobil
Esemka Jokowi Teronggok di "Pojokan Bengkel". Itulah judul berita
yang ditayangkan Kompas Otomotif pada Selasa, 22 Maret 2016. Mobil yang sempat
membetot perhatian publik itu kini dijadikan memori.
Berkat mobil Esemka yang berbobot nasionalisme itu pula,
nama Jokowi bisa dikenal seluruh Indonesia dan akhirnya berujung menduduki
jabatan Presiden Republik Indonesia sejak 2014 lalu. Namun sampai di situkah
nyala obor SMK?
Cepat kerja ya SMK
Menengok beberapa tahun ke belakang, citra SMK tak sebagus
SMA. Sebagian besar lulusan SMP lebih memilih SMA ketimbang SMK. SMK identik
dengan sekolahnya anak-anak yang ingin segera kerja dengan modal selembar
ijazah sekolah menengah atas.
Citra SMK – dan juga
STM – sebagai sekolah ‘kelas dua’ terpola dengan sendirinya di tengah
masyarakat Indonesia. Di pangsa kerja, lulusan SMK dan STM memang langsung bisa bekerja. Meski dengan kompensasi gaji yang tidak setinggi lulusan S1.
Maraknya industrialisasi di Indonesia pada akhirnya
mendorong sebagian orang tua berpikir praktis. Buat apa sekolah tinggi kalau
hanya menjadi pengangguran. Lebih baik cuma lulus SMK atau STM tapi langsung
bisa bekerja, mandiri, serta membawa pulang gaji ke rumah.
Namun citra SMK sebagai sekolah menengah atas ‘kelas dua’
mulai berubah di era Menteri Pendidikan Nasional Bambang Soedibyo. Ini seiring
gencarnya iklan layanan masyarakat yang menyebarkan pesan keunggulan SMK.
Pemahaman publik perihal SMK berubah positif. Sejalan dengan hal tersebut, mutu SMK di Indonesia terus
ditingkatkan. Dengan begitu, orang tua murid memiliki alternatif sekolah bagi
anak-anak mereka selain SMA.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah,
Mustagfirin, menyebut, setidaknya, ada tiga keuntungan bisa diperoleh para siswa
lulusan SMK. Pertama, SMK berperan
sebagai elevator atau tangga tercepat dari masyarakat yang berasal dari
kalangan kurang mampu untuk bisa menaikkan taraf hidupnya.
Kedua, lulusan SMK bisa memiliki pilihan dalam hidupnya. Setelah
lulus sekolah, mereka mempunyai pilihan untuk bekerja atau berwirausaha. Ketiga, SMK mampu mendukung pertumbuhan
ekonomi dan industri di Indonesia (Kompas.com, 14/11/2013).
Mimpi Jokowi tentang
SMK
Presiden ke-7 Indonesia, Joko Widodo punya interaksi yang
kuat dengan SMK. Mobil Esemka yang dikendarai Joko Widodo kala menjabat
Walikota Surakarta bahkan menjadi bagian dari komunikasi politiknya.
Terlepas
dari segala kekurangannya, pilihan Jokowi terhadap mobil Esemka menjadi semacam
advokasi dan unjuk rasa percaya diri terhadap hasil kerja anak-anak muda dari
dua SMK di Surakarta.
Ikatan rasa antara Jokowi dengan Esemka terus terjaga. Belum
genap dua tahun memimpin Indonesia, Presiden Joko Widodo menerbitkan Instruksi
Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi SMK Dalam Rangka
Peningkatan Kualitas dan Sumber Daya Manusia Indonesia.
Instruksi itu di antaranya menyusun peta kebutuhan tenaga
kerja bagi lulusan SMK. Hal itu, diminta berkaitan dengan peta jalan
pengembangan SMK yang akan dibuat oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Inpres ini juga memerintahkan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk menyempurnakan
kurikulum SMK dengan kompetensi sesuai pengguna lulusan (tempo.co, 19/09/2016)
Kelak, instruksi itu akan didukung dengan instruksi
peningkatan jumlah dan kompetensi pendidik SMK, peningkatan kerjasama dengan
kementerian serta pemerintah daerah, dan pembentukan kelompok kerja pengembang
SMK. Inpres ini seolah merupakan kelanjutan dari pidato kenegaraannya pada 16
Agustus 2016 lalu.
Pada salah satu paragraf, Joko Widodo menyatakan; sedangkan dalam rangka menyiapkan SDM menghadapi kompetisi global,
Pemerintah memperkuat sistem sistem pendidikan vokasional. Melalui pendidikan
vokasional, kita dapat melahirkan angkatan kerja dengan kemampuan yang relevan
dengan kebutuhan industri. Di saat yang bersamaan, kita pastikan masyarakat
usia produktif bisa lebih cepat mendapatkan pekerjaan.
 |
Presiden Joko Widodo saat menyampaikan Pidato Kenegaraan pada 16 Agustus 2016. Sumber foto: liputan6.com
Presiden Joko Widodo tidak secara langsung menyebut SMK.
Namun secara khusus menyampaikan kemauannya untuk memperkuat pendidikan vokasional
atau pendidikan berbasis ketrampilan.
Sebagai orang yang merintis karir dari pengusaha
furnitur, Presiden Joko Widodo paham betul, sektor industri akan selalu
membutuhkan tenaga kerja yang terampil. Kebutuhan ini bisa lebih cepat dipenuhi
dari sekolah kejuruan serta politeknik.
Tenaga kerja berketrampilan ini bisa dipasok
dari lulusan SMK. Potensi besar lulusan SMK ini bisa dilihat dari jumlah
sekolah yang ada saat ini. Data statistik terbaru yang dirilis Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan merinci, saat ini terdapat 12.659 SMK di Indonesia
yang tersebar dari Provinsi Aceh hingga Papua Barat. Pada 2015 lalu, tercatat 1.429.870
siswa SMK yang lulus.
Dari jumlah lulusan di atas, tak semuanya lantas menjadi
pekerja. Sebagian memilih melanjutkan ke perguruan tinggi dan ada juga menjadi
wirausaha. Yang jelas, para lulusan ini punya ketrampilan.
Kemauan Presiden Joko Widodo untuk merevitalisasi SMK saat
ini terbuka luas. Data statistik Kemendikbud berikut bisa memberikan gambaran
nyata tentang peran negara untuk mengembangkan SMK.
Saat ini, jumlah SMK Negeri baru mencapai 26,2% dari total
SMK yang berjumlah 12.659. Bila Presiden Joko Widodo serius ingin
merevitalisasi SMK, salah satu langkah yang bisa ditempuh ialah dengan menambah
jumlah SMK Negeri. Yang perlu dipertimbangkan di sini ialah untuk tidak asal
menambah SMK. Namun juga memastikan spesialisasi SMK yang akan dikembangkan.
Sebagai misal, untuk SMK yang berada di wilayah dengan
potensi maritim, sebaiknya membangun SMK dengan spesialisasi pendidikan seputar
ketrampilan maritim. Dengan pola seperti ini, supply dan demand
diharapkan berimbang. Pasokan lulusan dengan kebutuhan lapangan kerja akan
selalu match atau sesuai.
Rintisan pengembangan SMK berbasis potensi dan kebutuhan ini
sudah terlihat pada Laporan 2 Tahun Kerja Nyata Jokowi-JK. Sudah ada 132 SMK di
berbagai daerah dengan fokus vokasi bidang maritim, pariwisata, serta
pertanian. Data selengkapnya bisa dilihat pada infografis berikut.
Animo para orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke SMK
belakangan ini menjadi momentum yang tepat untuk merevitalisasi SMK. Salah satu
isu yang harus diselesaikan secepatnya ialah soal daya tampung.
Agus Wibowo
dalam artikelnya berjudul Jokowi dan
Mimpi Sekolah Kejuruan menyebut, pada tahun ajaran 2013/2014, siswa yang
mendaftar ke SMK mencapai 1.921.919 orang. Namun, SMK yang ada hanya mampu
menampung 1.527.778 siswa. Sebanyak 400.000 siswa yang ditolak masuk SMK.
Di luar urusan daya tampung, SMK yang ada saat ini harus
terus ditingkatkan mutu pembelajarannya. Bekal ketrampilan teknis yang
diajarkan kepada para siswa harus diimbangi juga dengan sarana pembelajaran
yang memadai.
Laboratorium dan alat praktik yang dimiliki SMK harus
senantiasa baru. Jangan sampai alat praktik yang digunakan SMK tidak sesuai
dengan kemajuan teknologi yang dipakai di dunia industri.
Dengan dukungan
anggaran pendidikan yang jumbo, Presiden Joko Widodo bisa menginstruksikan
kepada Mendikbud agar anggaran untuk SMK diprioritaskan. Dengan political will yang kuat revitalisasi SMK diharapkan berdampak nyata dalam menyiapkan angkatan kerja Indonesia yang berketerampilan.
Middle Skilled Workforce
Di masa depan, revitalisasi SMK sebagaimana diinstruksikan
Presiden Joko Widodo akan melahirkan generasi muda Indonesia yang siap kerja
dengan level keterampilan tingkat menengah atau lazim disebut dengan middle skilled workforce. Di tahap ini,
politeknik bisa menjadi pilihan bagus bagi lulusan SMK yang ingin meningkatkan
kapasitasnya.
Di hampir semua negara, tenaga kerja berketrampilan
menengah ini selalu dibutuhkan. Bahkan di negara yang sedang berkembang,
kebutuhan terhadap tenaga kerja jenis ini menjadi keniscayaan. Di Indonesia, middle skilled workforce ini banyak
dipasok dari lulusan politeknik dan pendidikan D3.
Saat ini di Indonesia ada 262 kampus politeknik negeri
dan swasta. Menurut data dari Staf Ahli Menristek Bidang Relevansi dan
Produktivitas, Agus Puji Prasetyono, dari jumlah tersebut, ada 43
politeknik negeri. Sisanya, sebanyak 166 merupakan politeknik swasta.
Hingga kini, peminatan studi mahasiswa politeknik masih
didominasi bidang engineering.
Artinya, dari 234.495 orang mahasiswa politeknik yang terdaftar saat ini,
sebanyak 93.798 di antaranya kini tengah berkonsentrasi kuliah di bidang
engineering.
Indonesia punya potensi besar untuk menyediakan middle skilled workforce yang berdaya
inovasi. Peluangnya akan kian terbuka jika pemerintah bisa terus mendorong
terwujudnya mendorong terwujudnya hilirisasi penelitian dengan memperkuat
sinergi antara pemerintah, perguruan tinggi dan dunia industri.
Tanyakan kepada para pengusaha, tenaga kerja seperti
apa yang dicari. Para pengusaha ini hanya akan mencari tenaga kerja yang punya
kompetensi. SMK dan politeknik bisa menjawab kebutuhan ini.
|
Komentar
Posting Komentar