Kebebasan pers seperti yang banyak diidamkan insan pers mulai terasa sejak Orde Baru yang dipimpin Suharto runtuh. Naiknya BJ. Habibie menggantikan Suharto rupanya diikuti oleh komitmennya untuk menjamin kebebasan pers.
Secara khusus Habibie bahkan mengundang para pemimpin redaksi media massa untuk berdilaog langsung dengan dirinya di Istana Negara guna membicarakan masalah seputar pers.
Pada saat itulah, pemerintah memutuskan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) tak bisa dicabut. Sementara itu urusan pembuatan SIUPP juga makin dipermudah.
Iklim kebebasan pers yang tergolong kondusif terus berlangsung pada saat tampuk kekuasaan beralih ke Abdurrahman Wahid serta Megawati. Tak mengherankan kiranya, pada masa ketiga presiden ini jumlah media massa khususnya media cetak terus bertambah.
Komitmen pemerintah untuk menjamin kebebasan pers juga terus disuarakan. Salah satunya pernyataan Presiden Megawati Soekarno Putri yang menjamin penegakan kebebasan pers di Indonesia. Hal itu dibuktikan di mana selama masa pemerintahannya, tidak pernah ada media massa yang dibredel, seperti halnya pada masa Orde Baru.
Namun, keadaan tak lantas membuat insan pers benar-benar merasa aman. Sejumlah kajian menyebutkan penguasa dapat tetap mengendalikan pers melalui pasal-pasal yang dapat membatasi pers, seperti Pasal 154 Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP yang masih tetap dipertahankan.
"Demi alasan menjaga stabilitas dan kepentingan umum, pemerintah dapat melakukan tindakan preventif dengan membatasi pemberitaan", papar dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Rudy Satriyo Mukantardjo, Selasa (16/12), di Jakarta. Menurut Rudy, berdasarkan pengalaman sejarah, negara cenderung membungkam pers yang selalu mengkritik kinerja pemerintahan yang mulai kuat.
Pembungkaman pers tersebut sudah terjadi sejak zaman Belanda, Jepang, Orde Lama, sampai Orde Baru. Dalam hal ini, politik akan mempengaruhi dunia hukum sehingga semua pasal yang dapat digunakan untuk membungkam pers akan menjadi senjata ampuh.
Selain pembungkaman pers, pemerintah juga cenderung untuk melakukan penggiringan opini untuk mempengaruhi pola pikir masyarakat dan memperkuat dukungan untuk pemerintahan.
Rezim yang baru akan mengampanyekan kebebasan pers di awal kekuasaan sebagai imbalan atas kejatuhan rezim lama, tetapi setelah berkuasa beberapa tahun dan menjadi kuat, rezim itu akan mengulangi lagi kesalahan rezim sebelumnya dengan membungkam pers.
Kiranya menarik untuk diperhatikan, kejatuhan suatu negara diakibatkan oleh tidak adanya kebebasan pers yang mengontrol dan memberi pendapat, masukan, maupun kritik. Sebaliknya, negara menjadi maju jika memberikan kesempatan kepada warga negara untuk mengkritik jalannya pemerintahan.
Banyaknya kritik akan membantu pemerintah melakukan refleksi dan memacu perbaikan terus-menerus.
Untuk mencegah kejatuhan negara dan pembungkaman terhadap pers, maka perlu dilakukan beberapa langkah yudisial, seperti penegasan batasan terhadap produk hukum yang berhubungan dengan kemerdekaan menyatakan pendapat dan mengandung istilah "kepentingan umum" dan "ketertiban umum", penghapusan Pasal 154 dalam KUHP dan Pasal 247 dalam rancangan KUHP Nasional yang dapat digunakan untuk membungkam pers.
Penegasan batasan istilah "kepentingan umum" dan "ketertiban umum" diperlukan untuk menghindari penggunaan secara sewenang- wenang produk hukum seperti itu oleh pemerintah untuk mengekang pers.
Sedangkan penghapusan kedua pasal tersebut diperlukan karena tidak sesuai dengan standar demokrasi yang mengizinkan seseorang untuk menyatakan pendapat. Keberadaan kedua pasal tersebut dapat menjadi senjata bagi alat kekuasaan, seperti polisi, untuk menggiring pers dalam delik pidana sesuai KUHP, bukan sesuai Undang-Undang (UU) Pers.
Komentar
Posting Komentar