Kemerdekaan yang diperoleh bangsa Indonesia sejak 17 Agustus 1945 tak lantas mengantarkan pers yang hidup di zaman itu merasakan kebebasannya. Di zaman kepemimpinan presiden Soekarno tercatat sejumlah surat kabar ditutup dan dilarang terbit karena dinilai berseberangan dengan Pemimpin Besar Revolusi.
Pemberangusan terhadap pers memang masih memungkinkan pada waktu itu. Mengingat, sistem perundangan dan hukum yang dipakai di Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan masih mewarisi peninggalan Belanda.
Beberapa pasal karet dengan mudah bisa diterapkan jika ada penerbitan pers yang tidak sesuai dengan kepentingan politik penguasa.
Lima belas tahun setelah Indonesia merdeka, tradisi mengatur kebebasan pers dimulai. Berdasarkan Penetapan Presiden No 6/1960, Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) diberi kekuasaan untuk memberlakukan Surat Izin Terbit (SIT) secara nasional.
Penggunaan perizinan sebagai alat kendali pemerintah untuk meredam kebebasan pers terbukti ampuh. Perjuangan pers pun terus berlanjut. Insan pers menginginkan pembredelan dihapuskan, dan perjuangan itu membuahkan hasil pada 1954, meski belum sepenuhnya.
Baru pada 1966 dikeluarkan Undang-undang Pokok-Pokok Pers. Tekanan terhadap pers mulai berkurang.
Kebebasan Pers pada Masa Orde Baru
Bagaimana kebebasan pers diatur oleh penguasa Orde Baru? Pemerintah dan DPR berkolaborasi membuat Undang-Undang Pokok Pers No 11/1966 jo No 4/1967 jis No 21/1982 dan UU Penyiaran No 24/1997 yang memberi otoritas kepada Menteri Penerangan untuk mengatur dan mengekang kebebasan pers.
Pers tidak lagi merdeka. Berita pers harus sesuai petunjuk pemerintah. Ratusan media pers yang kritik dan kontrolnya dinilai mengganggu stabilitas negara dibredel. Ironisnya semua ketentuan dan Undang-Undang tersebut dibuat merujuk konstitusi.
Upaya pemerintah mengontrol pemberitaan pers agar sesuai dengan kepentingannya ini begitu kentara pada saat peristiwa 15 Januari 1974 atau yang dikenal dengan Malari meletus. Pers pun kembali menemui masa suramnya.
Beberapa surat kabar dibredel. Pada tahun 1978 saja, tercatat tujuh surat kabar dibredel, diantaranya Harian Umum Kompas yang dibredel hanya lewat telepon oleh penguasa Orde Baru. Fatalnya, ketentuan pembredelan ini tak jelas.
Bisa dibayangkan betapa besar tantangan yang dihadapi surat kabar Indonesia. Seperti kasus Indonesia Raya, yang pernah dibredel tujuh kali dan terakhir kali terjadi di tahun 1974.
Mengaca pada kebijakan pemerintah waktu itu, kalangan pers tampaknya kian menyadari, meski punya peran besar, keberadaan pers acap tak pernah lempang. Selalu ada rintangan yang menghadang.
Lebih-lebih jika pers sebagai lembaga kontrol sosial dihadapkan dengan kekuasaan. Tanpa bermaksud membuat dikotomis, dalam perjalanan sejarahnya, pers seringkali menemui posisi sulit, seperti menghadapi ancaman pemberangusan.
Ancaman pemberangusan ini sangat terasa, baik pada era pemerintahan Orde Lama maupun orde Baru.
Tertantang oleh kenyataan bahwa baik rezim Orde Lama maupun Orde Baru yang akhirnya terpuruk - tanpa pers mampu melakukan pencegahan -sejumlah aktivis prodemokrasi dan propers bebas mendirikan Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia ( MPPI ).
Perhatian (concern) utamanya adalah memperjuangkan payung hukum yang melindungi pers merdeka. Payung hukum itu meliputi:
Pertama, mengubah paradigma dari pemerintah yang mengontrol publik dan pers, menjadi publik dan pers-lah yang harus mengontrol pemerintah. Departemen Penerangan (Deppen) yang mengatur dan mengekang kemerdekaan pers tidak diperlukan.
Kedua, meniadakan (1) SIT, (2) sensor, dan (3) pembredelan. Ketiga, memperjuangkan politik hukum negara yang tidak mengkriminalkan pers. Wartawan dan pers yang melakukan kesalahan dalam pekerjaan jurnalistik, perusahaannya dapat dipidana denda sebatas tidak membangkrutkan.
Gerakan moral dari MPPI ini merupakan sedikit angin segar bagi insan pers dalam memperjuangkan kebebasannya. Sayangnya, idealita tak selalu seindah kenyataannya.
Pada saat Harmoko menjabat sebagai Menteri Penerangan, tercatat 6 media cetak yang menjadi korban pembredelan antara lain Priorotas (1986), Sinar Harapan (1987), Monitor (1990), dan yang paling fenomenal adalah pembredelan terhadap Detik, Tempo, Editor pada 21 Juni 1994
Komentar
Posting Komentar