Sejak zaman penjajahan, Belanda memang mendorong memunculkan media, khususnya media cetak, untuk memberikan informasi bagi sebagian kecil kelompok masyarakat, di samping sebagai alat perjuangan.
Upaya pemerintah yang berkuasa untuk mengontrol pers kiranya bisa ditilik sejak tahun 1904. Catatan sejarah menunjukkan Gubenur Jenderal Belanda yang berkuasa antara tahun 1904-1909, Van Heutsz bisa dikatakan merupakan tenaga penggerak di balik kebijakan baru berkenaan dengan pemberian informasi kepada pers.
Ada dua alasan yang dapat dikemukakan untuk itu. Pertama, pengalamannya sebagai panglima di Aceh dalam masalah memberikan keterangan atau tidak kepada pers dengan masalah gejala delik pers, telah membuatnya akrab sekali dengan mekanisme pembentukan pendapat umum. Terutama masalah-masalah pengungkapan kekejaman tentara dalam surat kabar sangat menyedihkan hatinya, dan sering dianggapnya sebagai fitnah.
Sehubungan dengan dengan itulah, Van Heutsz bicara tentang “surat-surat kabar Batavia yang tak bermoral, “ dan tentang Wijbrands sebagai orang “yang mencari nafkah dengan malahap keburukan semua orang dan segala hal.
Adapun faktor kedua adalah pemberlakuan undang-undang desentralisasi tahun 1903 dan pembentukan dewan-dewan kotapraja di masa pemerintahan Van Heutsz merupakan terobosan atas kebijakan untuk memegang rahasia dan masuknya penduduk dalam lembaga-lembaga perwakilan.
Kedua faktor inilah yang dalam prakteknya mengantarkan Van Heutsz bersikap memberikan “bimbingan” kepada pers melalui berbagai cara.
Pada satu sisi, Van Heutsz memberikan informasi kepada pihak yang berwajib, namun di pihak lain dia juga memberikan subsidi kepada surat kabar sebagai saluran informasi dan berita kepada publik.
Kepentingan politik pemerintah terhadap pers begitu kentara, ketika baru diangkat sebagai Gubernur Jenderal di Hindia Belanda (Indonesia) Van Heutsz segera melakukan pembicaraan dengan seorang wartawan Belanda, Jhr. O. Van Beresteyn, mantan koresponden De Locomotief.
Pembicaraan tersebut membahas tentang pemberian informasi kepada surat kabar-surat kabar di Hindia Belanda.
Pada waktu itu cara yang paling lazim bagi para wartawan di Hindia Belanda untuk mendapat informasi dari pihak berwenang adalah dengan mengumpulkan berita melalui beberapa informan yang ada di departemen. Pejabat-pejabat di departemen ini, biasanya memberikan keterangan dengan menerima imbalan untuk menambah penghasilan mereka.
Karena merasa tidak suka dengan gaya pembocoran informasi seperti ini, maka Van Heutsz memberikan perintah untuk menyusun nota tentang pemberian keterangan secara sistematis yang sekaligus memerintahkan pembentukan kantor berita pemerintah.
Kebijakan Van Heutsz ini ternyata bukan sekedar mengendalikan informasi yang mengalir kepada masyarakat namun rupanya punya kepentingan lain yang juga dimainkan oleh Gubernemen. Gubernemen rupanya juga ingin mempererat ikatan dengan pers, sehingga “bimbingan” kepada surat kabar- surat kabar dapat dilakukan tanpa menimbulkan masalah.
Lebih jauh lagi, Gubernemen juga ingin mengubah gambaran masa lalu yang dinilai keliru namun sudah terlanjur diketahui masyarakat.
Pada titik inilah, pemerintah berpendapat bahwa “bimbingan” kepada pers merupakan kepentingan negeri dalam hubungan dengan luar negeri. Guna memuluskan kebijakan ini, pemerintah pada waktu itu memberi tugas yang jelas kepada kantor berita yang dibentuk.
Melalui kantor berita ini, pemerintah berusaha mengetahui semua informasi yang mengalir kepada pers. Dengan cara ini, pemerintah bisa mengetahui hubungan antara berita-berita tertentu dengan orang-orang tertentu sehingga tidak akan luput dari perhatian pemerintah.
Secara implisit bisa dipahami pemerintah dalam hal ini Gubernemen sebisa mungkin berupaya mengendalikan arus informasi kepada khalayak atau publik.
Setelah Van Heutsz mundur dari jabatannya sebagai Gubernur Jenderal, kebijakan Gubernemen terhadap pers juga ikut berubah. Pengganti Van Heutsz yakni Gubernur Jenderal Idenburg yang berkuasa tahun 1909-1916 rupanya lebih mencemaskan pers Indonesia daripada pendahulunya.
Idenburg merasa perlu mengamati dengan lebih seksama surat kabar-surat kabar yang terbit pada masa itu guna mengetahui secara pasti perkembangan yang terjadi. Idenburg bahkan secara khusus menugaskan seorang pejabat Gubernemen untuk mengamati dan membaca semua terbitan di Hindia Belanda yang pada waktu itu memang mulai marak dan terbukti mampu menggiring opini publik.
Salah satu surat kabar yang cukup dikenal pada masa itu yakni Medan Prijaji agaknya bisa menjadi contoh nyata kecemasan Idenburg terhadap peran pers berikut pengaruh yang dimainkannya.
Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, pemimpin redaksi surat kabar tersebut kebetulan adalah sosok yang kritis dan mampu menyajikan tulisan yang menggigit, membongkar korupsi maupun berbagai penyalahgunaan kekuasaan oleh para pejabat pemerintah.
Hal inilah yang kemudian menyebabkan Tirto kerap mendapat masalah serius dengan pemerintah. Dalam edisi kedua puluh Medan Prijaji (30 Juni 1908), Tirto menuduh A. Simon aspiran kontrolir di Purworejo melakukan tindakan korupsi dengan menyebutnya sebagai anak ingusan. Akibat tulisannya ini, Tirto diperkarakan ke pengadilan dan dituntut oleh Simon dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Dalam pembelaannya, Tirto mengaku memang menulis artikel dan mengkritik Simon. Meski bebas dari tuduhan memfitnah, Tirto akhirnya diputus bersalah karena pencemaran nama baik dan dibuang selama dua bulan ke Teluk Betung di Karesidenan Lampung.
Kasus yang dialami Medan Prijaji berikut keputusan pengadilan yang membuang Tirto tergolong menarik dan menjadi catatan penting sejarah pers di Indonesia. Pers yang berperan memberi sedikit koreksi terhadap pemerintah rupanya justru menempatkannya pada posisi yang sulit manakala pemerintah merasa tidak suka dengan pemberitaannya.
Lagi-lagi kepentingan politik pemerintah yang berkuasa bisa membuat pers dibungkam secara mudah. Pers dengan mudah bisa dibredel alias ditutup dan dilarang terbit karena membuat kesalahan dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Beberapa pasal dalam sistem perundangan Belanda memang mengatur masalah “hatzaai artikelen” yang banyak dikeluhkan kalangan pers. Pasal-pasal ini menyatakan bahwa penyebaran kebencian, penghinaan dan sikap permusuhan terhadap pihak berwenang atau golongan-golongan penduduk tertentu dapat dihukum.
Di zaman Belanda, ada dua undang-undang yang jadi duri, yaitu UU 1856 yang sifatnya pengawasan preventif dan UU 1906 yang bersifat represif. Keadaan ini kemudian diperparah dengan lahirnya Persbreidel Ordonnatie dengan pasal karetnya.
Fakta-fakta inilah yang menempatkan kebebasan pers selalu terancam jika membuat pemberitaan yang dinilai masuk dalam kategori “hatzaai artikelen.”
Pemberangusan terhadap pers tidak terhenti setelah kasus Medan Prijaji. Lahirnya kebijakan ordonansi pemberangusan pers dari pemerintah Belanda kian memposisikan pers nasionalis yang tumbuh pada masa itu makin terjepit.
Penerapan ordonansi ini memakan korban surat kabar mingguan De School. Dalam artikel yang dimuat pada edisi 2 Oktober 1931, terlontar sebuah kritik terhadap kebijakan penghematan yang ditempuh pihak berwenang mengenai gaji pegawai dan guru.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang menjabat waktu itu, De Jonge menilai artikel tersebut melanggar batas-batas kritik yang dapat ditolerir sehingga pemerintah memutuskan untuk melarang terbit sementara.
Kehidupan pers lebih sempit ketika zaman Jepang. Selain Undang-undang Belanda masih diberlakukan, tekanan pers makin berat dengan adanya Undang-Undang Nomor 16 yang pasal-pasalnya sangat menakutkan.
Di setiap surat kabar ditempatkan Shidooin (penasihat) yang tak jarang menulis artikel dengan mencatut nama anggota redaksi demi siar Dai Nippon kala itu.
Komentar
Posting Komentar