Pesawat Batik Air dengan kode penerbangan ID 6847 tengah bersiap lepas landas. Cuaca di Bandara Depati Amir pada Senin 20 Februari 2023 terlihat sedikit mendung.
Pesawat dengan tujuan Jakarta dari Pangkal Pinang itu akhirnya take off tepat waktu. Pukul 11.15 WIB.
Menjelang take off, dua orang yang duduk di bangku 9A dan 9C terlihat berbincang serius. Terdorong rasa penasaran, saya melirik ke belakang.
Penumpang di 9A rupanya seorang habib. Sementara teman berbincangnya adalah pengurus pondok pesantren di Pulau Bangka. Keduanya berbincang serius seputar pengelolaan majlis taklim yang akan dijadikan sarana dakwah Islam.
Obrolan keduanya terhenti sejenak. Sang habib tampak dan mendaraskan doa panjang yang dibaca dari layar handphone. Doa itu terdengar jelas dan saya ikut mengaminkan doanya sembari menengadahkan kedua tangan.
“Doa yang langka, sebab dibacakan oleh seorang habib yang duduk beberapa centimeter dari saya. Doanya dibaca pas kita hendak mendekat ke langit,” ujar saya dalam hati.
Sang habib memohon kepada Allah agar dimudahkan segala urusan atau hajat. Juga memohon dilimpahi keselamatan.
Usai terbang selama satu jam, pesawat mendarat mulus di Bandara Soekarno-Hatta. Penumpang turun teratur melewati garbarata yang tersambung di pintu pesawat.
“Assalaamu’alaikum habib. Saya izin mencium tangan habib,” ujarku pelan.
Begitu mendekati gedung bandara, saya memperlambat langkah untuk mencegat dan bersalaman dengan sang habib. Usai bersalaman, saya meluangkan waktu berbincang dalam bahasa Arab.
“Takallamta arabiyah? Apakah Anda berbicara bahasa Arab?” tanya sang habib.
“Takallamtu qalilan, saya bicara sedikit saja,” jawab saya.
Berbincang dengan bahasa Arab menjadikan kami mudah akrab. Sembari berjalan menuju ruang pengambilan bagasi, sang habib meletakkan tangan kanannya di pundak kanan saya.
Ternyata keturunan Rasulullah Muhammad SAW ini sangat santun dan mudah akrab. Sejujurnya, inilah pertama kalinya bersalaman dengan habib dan berbincang langsung secara dekat.
Rupanya sang habib hendak bertolak ke Tarim Yaman pada Jumat 24 Februari 2023. Transit di Jakarta selama tiga hari di Pasar Minggu Jakarta Selatan.
“Berapa lama di Tarim,” tanya saya dalam bahasa Arab.
“Lima bulan,” jawabnya.
“Qadim jiddan, lama sekali,” ujar saya.
“Middatun thawilah,” jawab sang habib.
Memanjangkan yang sudah panjang. Kurang lebih begitu arti dari middatun thawilah. Bermukim selama satu bulan di Tarim Yaman itu sudah panjang. Sang habib hendak berada di sana selama lima bulan; middatun thawilah.
“Saya mohon doa dan berkahmu ya habib. Semoga berlimpah selamat ya habib,” ujar saya.
Sang habib mengangguk dan menepuk pundak sebelah kanan.
Mendekati tempat pengambilan bagasi, para petugas cleaning service terlihat menyapa sembari menganggukkan kepala tanda memberi hormat kepada sang habib. Sang habib membalas dengan senyum dan anggukan.
Rupanya beliau dikenal baik oleh para pekerja di Bandara Soetta. Di tempat pengambilan bagasi, seorang petugas bandara langsung menghampiri pria berparas Arab yang mendampingi sang habib.
Tiket bukti bagasi diserahkan dan si petugas langsung mempercepat pengambilan bagasi. Kedatangan sang habib rupanya sudah diketahui secara berantai oleh para petugas Bandara Soetta. Tercatat ada empat petugas yang langsung cium tangan kepada sang habib.
Sembari menunggu bagasi, saya menyapa pria berparas Arab yang berdiri di dekat conveyor. Saya menyodorkan tangan kanan untuk bersalaman.
“Afwan bib, itu namanya habib siapa? Dan antum siapa namanya?” ujar saya.
“Itu Habib Ali. Saya Husein,” jawabnya ramah.
Jadi, selama berbincang dari pintu kedatangan hingga ke conveyor, saya belum tahu nama sang habib. Hendak tanya langsung dirasa tidak sopan sebab sang habib ini sosok terkenal di Bangka dan juga di Jakarta.
Saya yang justru tidak banyak tahu perihal habaib di negeri ini. Namun, perkenalan dan perbincangan singkat dengan Habib Ali memberikan pengalaman berada dekat di sisi cucunda Nabi Muhammad SAW.
Habib Ali memiliki nama lengkap Habib Al-Ali bin Hasan Bilfaqih. Beliau merupakan pengelola Pondok Pesantren Almatuddnya yang berlokasi di Beruas Kabupaten Bangka Tengah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Perjumpaan dengan Habib Ali buat saya bukan sebuah kebetulan. Tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini. There is no coincidence in life. Ada peran takdir dalam pertemuan itu.
Semoga dipertemukan dengan berkah berikutnya. Sosok Habib Ali dalam tulisan ini adalah pria dengan sajadah hijau di pundak kanannya atau urutan kelima dari kiri.
Terima kasih sudah membaca.
Komentar
Posting Komentar