Semenanjung Korea akhirnya merdeka. Hari itu tanggal 3 Oktober 1945, bangsa Korea menghirup kemerdekaan, setelah dijajah oleh negeri matahari terbit; Jepang.
Begitulah, sejarah baru bangsa Korea terbentang dan bergulir. Rasa haru kemerdekaan itu agaknya hanya berumur sesaat. Semenanjung damai yang dulunya bersatu, kembali terkoyak. Tiba-tiba Korea Utara menyerang Seoul dengan tujuan yang jelas; menginvasi Korea Selatan.
Tragedi kemanusiaan bertajuk Perang Korea atau yang dikenal pula dengan Korean War digelar. Luka bangsa Korea semasa penjajahan Jepang belumlah usai. Berikutnya, pada tanggal 25 Juni 1950, luka bangsa itu disayatkan lagi oleh saudara sebangsa.
Perang, di belahan bumi manapun berlangsung, senantiasa menorehkan luka yang teramat dalam bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya. Dalam realitanya, perang merupakan pilihan akhir yang dilematis yang harus dijalani oleh suatu bangsa, setelah upaya lain terhenti.
Tak peduli apapun bentuk perang tersebut dan alasan yang mendorongnya terjadi. Perang di satu sisi bisa bermakna keterpaksaan dan di sisi lain bisa pula bermakna kewajiban. Drama Perang Korea memaknakan perang sebagai sebuah keterpaksaan sekaligus kewajiban.
Keterpaksaan itu menyeruak bagi rakyat Korea Selatan, karena mereka harus menghadapi saudara sebangsa yang berbeda haluan. Berperang melawan penjajah tetaplah menyakitkan. Namun betempur melawan saudara sebangsa terasa lebih menyakitkan.
Seolah rasa damai dan perasaan sebangsa yang di hidup satu semenanjung tak ada artinya lagi. Dan inilah yang terlukis dalam Perang Korea. Para anak bangsa Korea-khususnya Korea Selatan-terpaksa menghiasi sketsa sejarah Korea dengan luka, darah, nyawa, serta derai air mata. Ambisi dan arogansi Kim II Sung telah meruntuhkan arti penting kemerdekaan dan perdamaian yang tengah bersemi di hampir seluruh lubuk hati generasi Korea kala itu.
Siapa yang harus menanggung luka sejarah akibat perang itu, manakala Korea Selatan dan Korea Utara saling beradu ?
Meskipun perang memberi bekas kepahitan yang panjang, rakyat Korea Selatan yang tiba-tiba diserang, menjadikan perang sebagai panggilan yang bermakna wajib. Tanpa sebuah alasan yang jelas hingga kini, Kim II Sung memimpin penyerangan ke Seoul dan menaklukkannya dalam tempo 3 hari.
Demi eksistensi serta harga diri sebuah bangsa, rakyat Korea Selatan wajib berperang. Bertahan adalah upaya perjuangan, saat bangsa dan negara membutuhkan. Itulah sikap yang seharusnya diambil manakala kedaulatan bangsa dicabik-cabik oleh kekuatan dari luar. Inilah makna wajib dari perang.
Lebih dari itu semua, Perang Korea memaparkan sketsa yang begitu sarat kepentingan dengan beberapa kekuatan dari luar Korea. Perang Korea ibarat salah satu gerbong dari kereta panjang Perang Dunia I dan II.
Di belakang kedua belah pihak yang bertemu di medan tempur, tampak pula 3 raksasa militer dunia yang juga tengah bersaing memamerkan kekuatan serta pengaruhnya kepada dunia. Ketiganya adalah : Uni Soviet, Cina, serta sang “polisi dunia” siapa lagi kalau bukan: Amerika. Api pertempuran berkobar di semenanjung Korea.
Negeri pagi yang tenang terselimuti asap mesiu dan desingan peluru. Saat itu, Seoul telah jatuh, dan sebuah kabar dikirim lewat kabel oleh Josef Stalin kepada seorang kawan di daratan Cina, bernama Mao Tse Tung.
“Dari lubuk hati yang paling dalam, saya mengucapkan selamat kepada kawan Cina atas keberhasilannya merebut Seoul,” ucap Stalin. Demikianlah kesaksian mantan Menteri Luar Negeri Uni Soviet, Evgeny Bajanov dalam laporannya tertanggal 8 Januari 1951. Komunisme tengah berada di atas angin kala itu, penggelora utamanya adalah Beijing dan Moscow.
Lantas siapakah yang pertama kali menabuh genderang Perang Korea ? Pertanyaan ini patut diajukan guna lebih memperjelas bagaimana generasi sekarang sebaiknya bersikap terhadap konflik yang tercatat dalam lembaran sejarah Korea tapi “sedikit terlupa”.
Jawaban dari pertanyaan di atas tertuju kepada seseorang yang bernama : Kim II Sung. Darinyalah obsesi untuk menginvasi Korea bagian selatan bermula. Kesimpulan ini diperoleh dari arsip-arsip sejarah yang tersimpan rapi di negeri yang merupakan partner Korea Utara, yakni Uni Soviet.
Rupanya sebelum invasi terealisasi, Kim II Sung mengundang “kawan” seideologi guna mendukungnya. Adalah Stalin yang menerima ajakan itu pada tahun 1949. Dan Stalin belum berkenan hati ikut membantu. Invasi terhadap Korea bagian selatan urung digelar. Entah mengapa, pada bulan April 1950, terbetik warta, Stalin berubah pikiran.
Ternyata Kim II Sung berhasil meyakinkan sang perdana menteri bahwa invasi ke Korea Selatan merupakan operasi militer beresiko kecil dan akan berakhir sukses sebelum Amerika melakukan intervensi di dalamnya.
Berdasar analisis Dr. Valeri Denissov, seorang wakil direktur dari Departemen Asia di Kementrian Luar Negeri Uni Soviet, saat itu Stalin berpikir bahwa Amerika “tengah sakit hati” usai ditinggalkan oleh rekanan Cinanya berjuluk Chiang Kai-shek yang memperoleh banyak keuntungan dari konflik internal yang melanda Cina, sehingga kecil kemungkinan Amerika akan melibatkan diri dalam konflik di semenanjung Korea.
Faktor lainnya Uni Soviet juga telah mengumumkan bom nuklir ciptaannya, dari sini berdasar prediksi Stalin, monopoli Amerika sebagai pemilik senjata nuklir sudah tergeser dan berarti kemampuan Amerika yang sering memainkan “kartu nuklir” (nuclear card) dalam konfrontasinya melawan Uni Soviet bukan sebagai sesuatu yang menakutkan lagi. Semakin lengkaplah kekuatan Korea Utara dengan hadirnya bantuan dari negara tetangga Cina.
Ikut sertanya Cina ini diawali dengan perintah rahasianya Mao Tse Tung kepada “Sukarelawan Rakyat Cina”. Senada dengan catatan arsip yang tersimpan di Uni Soviet, pada bulan Mei !950, Mao telah berkenan hati bergabung dengan pasukan Soviet dan mendukung aksi Korea Utara yang menginvasi Korea Selatan.
Manuver dari pasukan Cina inilah yang pada akhirnya tidak hanya mengubah situasi di medan tempur dan juga strategi perang yang sebelumnya telah terpetakan.
Fakta selanjutnya, sang “polisi dunia” Amerika terlibat pula guna mengatasi keadaan yang tak seimbang. Para pejabat Amerika di PBB menyatakan bahwa tindakan Korea Utara merupakan pelanggaran perdamaian.
Dari situ pulalah kehadiran pasukan Amerika dalam konflik Korea-meminjam bahasanya Harry S. Truman-sebagai aksi polisi. Apakah seserdahana itu. Kehadiran Amerika merupakan wujud dari persaingan klasik antara negara berhaluan demokrasi liberal dengan seterunya negara komunis serta perlombaan senjata yang belum surut waktu itu.
Dokumen rahasia di Pentagon juga menyatakan bahwa Amerika sesungguhnya tak punya ketertarikan sedikitpun dalam konflik Korea. Tapi keputusan Harry S. Truman kala itu berkata lain. Inilah yang akhirnya menjadikan Amerika sebagai pelaku penting dalam konflik Korea.
Kini, di tahun 2000, pada peringatan 50 tahun Perang Korea, saatnya kita mengakaji ulang sejarah Perang Korea. Dari sekian catatan perang yang tersaji di muka bumi, Perang Korea agaknya menjadi “sesuatu yang terlupa,” sebagaimana yang dibahasakan oleh Kolonel Harry G. Summers, Jr., seorang tentara Amerika yang sempat terlibat dalam konflik ini.
Keluhan lain juga muncul dari seorang Jenderal bernama Maxwell D. Taylor, “Belum pernah ada analisis yang sempurna mengenai Perang Korea yang bisa dijadikan pelajaran, nantinya para pembuat kebijakan akan terus mengulang kesalahan yang serupa.
Komentar
Posting Komentar