Dalam sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, pers dan pemerintah merupakan dua entitas yang saling terkait dan tak bisa dipisahkan. Terlebih dengan makin mapannya demokrasi di berbagai belahan negara di dunia, arti dan peran penting pers pun makin meningkat serta dihargai.
Tidak berlebihan kiranya jika pers kemudian disebut sebagai pilar keempat demokrasi. Meski terkesan klise, julukan pilar keempat demokrasi bagi pers setidaknya memberi semacam pengakuan bahwa peran pers di berbagai negara yang mengaku demokratis cukup diperhitungkan.
Pengakuan ini paling tidak memahamkan kepada masyarakat luas, bahwa pers juga bisa berperan mempengaruhi kebijakan pemerintah selain tiga pilar lainnya yaitu: eksekutif, legislatif, serta yudikatif. Bagi pemerintah di negara yang sadar betul peran penting pers terhadap publik ada dua sikap yang paling mungkin dilakukan.
Pertama, menghargai dan menghormati kebebasannya terkait dengan kritik dan kontrol yang disampaikan. Kedua, mengendalikan dan memantau terus pemberitaannya agar sesuai dengan kepentingan penguasa.
Dua sikap yang berbeda arah ini sangat mungkin terjadi. Bagi negara-negara maju dengan iklim demokrasinya sudah mapan, pers dengan segala polah tingkahnya tetap dibiarkan hidup dan berkembang tanpa perlu mengusik apalagi membungkamnya.
Sebagai sebuah kontrol pers tetap diperlukan bagi para pengambil kebijakan atau bagi pemerintah. Namun tidak demikian dengan pemerintah yang kurang menghargai kebebasan pers.
Di negara-negara seperti ini, pers sebisa mungkin dibatasi geraknya. Atau secara lebih eksplisit pemberitaan pers disensor terlebih dahulu agar berita-berita yang kurang menguntungkan kebijakan pemerintah tidak bocor ke publik.
Kebijakan seperti ini tak lepas dari upaya pengendali kebijakan di suatu negara yang begitu memperhitungkan pers dalam mempengaruhi opini publik secara massif. Pada tataran inilah, mulai terjadi tarik ulur yang begitu jelas antara pers dan pemerintah.
Kebebasan pers yang seharusnya dijamin oleh negara atau pemerintah barangkali hanya akan menjadi jargon belaka atau bisa dikatakan sebagai kebebasan semu. Boleh bebas asal bertanggung jawab.
Atau boleh bebas asal tidak berlawanan dengan kepentingan pemerintah. Secara lebih jauh, keadaan seperti itu juga makin membatasi kebebasan individu untuk mengungkapkan pikiran di media massa baik itu majalah, surat kabar, jurnal, tabloid maupun media elektronik baik itu televisi maupun radio.
Padahal,dalam model liberal “free market place of ideas and information” pihak berwenang seharusnya sebisa mungkin menahan diri untuk tidak mencampuri urusan dunia pers baik mengenai isi maupun ekonominya. Namun idealita seperti itu agaknya sulit terwujud.
Hal inilah yang menjadikan, kebebasan pers penuh di masa apa pun dan tata kemasyarakatan mana pun hanya merupakan ilusi. Kebebasan pers secara implisit dibatasi oleh kode etik wartawan, oleh sensor diri wartawan serta oleh kurangnya pendanaan.
Akan tetapi di sisi lain secara eksplisit tetap dibatasi oleh pihak yang berwenang. Di negara-negara demokrasi konstitusional moderen, kebebasan pers rupanya tetap dibatasi oleh hukum pidana dan hukum perdata, sensor internal dan berlakunya ekonomi pasar.
Sensor internal ini biasanya dilakukan atas dasar norma-norma dan nilai budaya. Sementara itu, di rezim-rezim otoriter upaya mengekang kebebasan pers ini dilakukan dengan memberi tekanan pada kepentingan bersama dan memandang pers sebagai alat untuk mewujudkan tujuan-tujuan kebijakan negara.
Sejarah panjang kehidupan pers di Indonesia kiranya juga tak lepas upaya berbagai pihak untuk membatasi kebebasannya. Secara lebih khusus tulisan ini akan mengupas peran politik pemerintah dalam mengontrol kebebasan pers dari zaman penjajahan Belanda hingga saat ini.
Komentar
Posting Komentar