Ada banyak cara belajar sejarah. Salah satunya lewat jalan-jalan santai. Itulah yang ditawarkan oleh Sahabat Museum, pada Minggu 25 Januari 2004 lalu. Ratusan orang sejak pagi sudah ngumpul di Kantor Pos Filateli Pasar Baru Jakarta. Mereka adalah peminat acara Plesiran Tempo Doeloe. Minggu pagi itu, para peserta dari beragam usia, hendak bernostalgia dengan kota Jakarta. Tepatnya, di seputaran Pasar Baru hingga Pintu Air.
Sebelum plesiran jalan kaki dimulai, sebuah film dokumenter berpengantar bahasa Belanda diputar. Sembari lesehan di lantai, para peserta dihantar sejenak menengok wajah Jakarta di tahun 1912-an. Film hitam putih itu menceritakan beberapa hal penting tentang kota yang dulunya bernama Batavia. Terlihat di sana suasana jalan Matraman Jakarta Timur yang lengang. Jalan itu dulunya dikenal dengan nama, jalan Meester Cornelis atau Jatinegara. Nama itu kini diabadikan menjadi pasar Mester di Jatinegara. Dalam buku Robin Hood Betawi karya Alwi Shahab, Meester Cornelis ini (Jatinegara) sempat disebut beberapa kali.
Gambar di film kemudian beralih ke sebuah trem yang membelah Jakarta lama. Trem bermesin uap adalah barang moderen kala itu. Penumpangnya diatur sedemikian rupa untuk membedakan kelas. Ada tiga kelas sesuai urutan gerbong. Gerbong terdepan, tepat di belakang lokomotif, diperuntukkan bagi orang-orang Belanda. Gerbong berikutnya bagi orang-orang Cina. Dan gerbong terakhir diperuntukkan bagi kaum inlander alias pribumi. Selanjutnya, tampak wajah Pasar Senen yang khas dengan kawasan Pecinannya. Disusul kemudian dengan pemandangan Pasar Baru dari arah depan. Sungai Ciliwung di depan Pasar Baru masih telihat bersih. Beberapa perahu yang berfungsi sebagai sarana transportasi perdagangan juga tertangkap oleh kamera film.
Bila melihat bantaran sungai di depan Pasar Baru orang tentu akan teringat Pintu Air yang letaknya di dekat masjid Istiqlal. Pintu Air itu ternyata tidak berubah bentuk dari dulu hingga kini. Dulu, kawasan di dekatnya adalah taman bernama Wilhelmina Park atau Taman Wilhelmina. Di dekat Wilhelmina Park, Belanda pernah membangun dua buah benteng Rijswijk dan Noorwijk. Dua benteng ini berfungsi menahan gempuran serangan dari kerajaan Mataram.
Usai pemutaran film, para peserta dibagi menjadi beberapa kelompok. Masing-masing kelompok terdiri atas sekitar 30-an orang. Dengan seorang pemandu mereka diajak berkeliling. Peninggalan sejarah yang pertama kali dipaparkan tak lain adalah Kantor Pos Filateli itu sendiri. Bangunan bergaya art deco ini dibangun sekitar tahun 1912-1929 oleh arsitek J.F. Hoytama. Fungsinya, menjamin keamanan surat-surat dari kantor dagang baik dari maupun ke luar Jawa hingga Belanda. Sebelumnya, pemerintah kolonial Belanda sudah pernah membangun kantor pos lain. Tempatnya, di lantai dasar istana Daendels atau gedung Departemen Keuangan sekarang. Kantor pos itu dibangun tahun 1935. Catatan lain menyebutkan, kantor pos di Hindia pertama kali dibangun 26 Agustus 1746 di masa pemerintahan gubernur jenderal Baron Von Inhoff.
Obyek lain yang selanjutnya disinggahi adalah Gedung Kesenian Jakarta (GKJ). Sebuah gedung dengan berarsitektur empire style. Gedung kesenian atau yang dalam bahasa Belanda disebut Stadschouwburg ini merupakan bangunan yang sangat tua. Ini terlihat dari tanggal peresmiannya yakni 7 Desember 1821. GKJ dibangun pada saat Sir Thomas Stamford Raffles memerintah di Batavia. Material bangunan ini sebagian diambil dari bongkahan sisa-sisa 3 gedung tua di Oud Batavia atau Batavia Lama. Seiring perjalanan waktu gedung bersejarah ini sempat beberapa kali berubah fungsi. Di antaranya sempat menjadi ruang kuliah bagi mahasiswa FE dan FH Universitas Indonesia, menjadi bioskop, hingga menjadi rumah bagi 8 keluarga. Untunglah, di tahun 1984, saat gubernur DKI dijabat oleh R. Suprapto gedung ini diambil alih, dipugar dan dikembalikan fungsinya seperti sekarang.
Rangkaian paling menarik kegiatan plesiran tempo doeloe saat peserta diajak menyusuri Pasar Baru atau Passer Baroe. Inilah, mall pertama di Indonesia Ada banyak cerita di kawasan ini. Cerita itu dimulai dari tulisan angka 1820 di gapura depan pasar ini. Mungkin banyak yang menyangka, tahun 1820 adalah tahun pembangunan pasar ini. Ternyata, pemerintah memasang tulisan angka 1820 itu setelah melihat tulisan Passer Baroe 1820 di sebuah media massa cetak yang terbit kala itu. Iseng punya iseng tulisan angka 1820 itu kemudian dipasang. Di dalam Passer Baroe hingga kini masih terdapat bangunan toko lama bergaya Cina dan Eropa. Bangunan itu di antaranya bisa dilihat pada Apotik Kimia Farma dan Toko Kompak. Toko Kompak ini merupakan salah satu peninggalan yang masih sangat baik dan utuh.
Pemiliknya adalah Tio Tek Hu. Seorang pengusaha Cina berpangkat mayor. Gubernur jenderal Batavia kala itu sering berkunjung ke Toko Kompak. Atas dasar inilah, sang gubernur menganugerahkan 2 medali penghargaan yang hingga kini masih tergantung jelas di bagian depan toko itu. Hingga kini toko tersebut masih buka. Dagangannya, perlengkapan hotel dan restoran. Cerita lain menyebut, mayor Tio Tek Hu gemar berenang di sungai Ciliwung depan Passer Baroe. Kala itu airnya memang dikenal bersih. Beda dengan sekarang. Di mana airnya sangat kotor dan jorok. Kebersihan sungai Ciliwung di depan Passer Baroe dibenarkan oleh salah seorang peserta.
“Dulu pas saya masih kecil, masih ada perahu yang melintas di sini. Untuk hari-hari tertentu bahkan ada perayaan. Sungai ini harus dibersihkan, dikeruk, biar tidak bengong seperti sekarang,” celetuk ibu Oemar Sahidi, 64 tahun. Perempuan tua pensiunan Departemen Kehakiman ini dengan semangat mengikuti plesiran santai bersama cucu-cucu dan suami.
Tokoh lain yang punya cerita menarik adalah Tio Tek Hong. Dialah pedagang yang pertama kali menggunakan cara harga pasti (vaste prijs) untuk setiap barang yang dijualnya. Dengan cara ini calon pembeli tidak perlu menawar lagi dan tak perlu khawatir membeli barang dengan harga terlalu mahal. Tio Tek Hong dulunya dikenal sebagai pedagang alat-alat musik. Pemutar musik yang populer waktu itu adalah phonograph. Alat ini dipromosikan Tio Tek Hong dengan sebutan “mesin bicara.” Tujuannya tentu untuk menarik perhatian. Bekas toko milik Tio Tek Hong yang bisa ditemui adalah Toko Populer yang terletak di Jl. Pasar Baru No. 93. Adapun rumah Tio Tek Hong kini sudah beralih fungsi menjadi restoran es krim Tropik.
Catatan sejarah yang ditulis seorang Belanda HCC. Clockener Brousson dalam buku berjudul Batavia Awal Abad 20, secara jelas menyebutkan keberadaan 2 tokoh Cina di atas yakni Mayor Tio Tek Hu dan Tio Tek Hong. Brousson menulis, pangkat militer mayor bisa diperoleh dari gubernemen setelah membayar sejumlah uang. Meski penyandang pangkat akan mendapat banyak masalah dan pekerjaan, semua dilakukan dengan senang hati. Pada waktu itu, di Hindia ada banyak orang Cina yang berpangkat letnan, kapten hingga mayor. Salah satu syarat untuk mendapat pangkat itu adalah berkelakuan baik dan mampu berkomunikasi dengan kalangannya. Popularitas Tio Tek Hong juga diakui oleh Brousson. Toko Tio Tek Hong kala itu dikenal ramai dan punya banyak pelanggan.
Belajar sejarah menjadi kian menarik dengan melihat langsung bekas-bekas peninggalan yang tersisa. Batavia yang berjuluk queen of the east, agaknya terlalu sayang jika sekedar dinikmati lewat buku dan bacaan. Dokumentasi sejarah dalam bentuk film dan buku akan semakin hidup dengan melihat langsung sisa peninggalannya. Dengan begitu, orang makin paham letak perbedaan antara dulu dengan sekarang. Weltervreden atau ibukota baru memang sudah terlampau sesak oleh penghuninya. Dari kegiatan semisal plesiran tempo doeloe inilah kita belajar mengenang suasana Jakarta yang masih sepi. Membayangkan, wajah kota seandainya tanpa ada urbanisasi.
Komentar
Posting Komentar